“Setiap makhluk pasti pernah merasa memiliki dan pasti pernah juga merasa kehilangan. Meski sejatinya, kita tak pernah memiliki, kita hanya diberikan titipan dari Sang Pemilik Segala dalam jangka waktu tertentu. Dan sepatutnya, tidak ada rasa kehilangan yang layak kita rasakan”.

Tentang Memiliki

Titipan, semua yang hadir dalam kehidupan kita adalah titipan. Semua kejadian yang kita rasakan adalah titipan, sifatnya sementara. Kelak akan kembali pada si Pemilik Abadi, sang Pemilik Langit dan Bumi.

 Betapa ‘keakuan’ kita akan pada  sebuah pemilikan  menjadikan kita merasa layak dan pantas untuk menghujat Tuhan. Tak ada satu inci pun dari tubuh kita yang mutlak milik kita sendiri. Mata yang sedang melihat ini adalah titipan, mulut ini adalah titipan, tangan yang sedang bekerja ini adalah titipan, kaki yang sedang melangkah ini adalah titipan. Kita saja yang suka ngaku-ngaku kalo semuaya adalah punya kita.

Saya tersentak saat itu. Wejangan yang saya dapatkan dari Abah, begitu panggilan akrabnya, sang Kepala Adat di Kasepuhan Sinar Resmi, Sukabumi. Beliau saya temui beberapa tahun dalam acara temu ramah tamah kunjungan blogger bersama Dompet Dhuafa. 

Wejangannya ini membuat mata saya berlinang. Ahhh, Tuhaaann, betapa banyak khilaf kami. Mengaku-ngaku memiliki setiap anggota badan yang sudah menempel pada tubuh.

Ini mulut siapa?”,
tanya abah kepada kami seraya menunjuk mulut beliau.
Serentak kami menjawab, “Mulut Abah”.

Bibirnya mencibir, dan kepalanya menggeleng. Saya pun heran, mulai menganalisa sendiri,  lah yang ditunjuk kan mulut, berarti benar dong itu mulut. Terus yang ditunjuk arah telunjuknya menuju Abah, berarti si pemilik mulut kan Abah sendiri, bukan Ambu yang duduk disamping beliau  atau malah bukan mulut saya atau teman-teman yang duduk lumayan jauh dari hadapannya.

“Bukan.. bukan.. ini mulut milik Alloh, ini mata punya Alloh, ini tangan punya Alloh, ini kaki punya Sang Gusti, kita jangan suka ngaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan milik kita sendiri. Makanya, hidup kita berantakan, alam tidak baik, Indonesia tidak baik, orang-orangnya suka ngaku-ngaku hak milik, padahal tak setitikpun semua yang ada dihadapan mata adalah miliknya. Semua beradu punya, jadi beginilah kita, beliau melengkapi wejangannya. 

Wejangan itu selalu menjadi alarm bagi saya dalam berbuat, dalam berucap, dalam melangkah. Bahwa sejatinya hidup kita adalah milik Alloh, bukan milik saya.

Manusia boleh berencana, tapi serahkan seluruh akhirnya pada Sang Pemilik rencana besar kehidupan, begitu kata-kata bijak yang sering kita dengar. Kata-kata bijak yang mengingatkan kita untuk selalu melibatkan  Alloh dalam setiap rencana. 

Jujur, banyak rencana kehidupan yang dulu sudah saya buat menjadi kenyataan. Namun, ada juga rencana yang sedang dalam pengajuan proposal atau malah tidak atau belum dikabulkan. 

Namun, Allah menggantikannya dengan sebuah dunia baru yang lebih baik untuk dijalani, dibandingkan sebuah cita-cita muluk saya yang mungkin akan membawa saya ke negeri antah berantah dan tidak memiliki ujung yang baik untuk kehidupan saya.

tentang memiliki dan kehilangan

Tentang Kehilangan

Banyak kejadian dalam hidup kita, misalnya saja dalam episode kehilangan. Kita secara tanpa sadar dipertemukan dengan sebuah potongan kehidupan lainnya yang mengisi kekosongan sebelumnya. Di sat yang lain, saat kita sedang menikmati suatu hal, di saat bersamaan kita juga sedang kehilangan hal lainnya.  Terus.. apakah kejadian kehilangan dan memiliki itu punya nilai yang setara? 

Makna adil menurut saya menjadi ambigu untuk peristiwa kehilangan dan memiliki. Kenapa?.. Manusia sifatnya ‘maruk’, mau semuanya. Jika telah memiliki A, maunya juga memiliki B, setelah itu memiliki C, dan seterusnya. Setelah memiliki, makhluk biasa seperti manusia serasa enggan untuk berbagi jika bukan karena  Tuhan tidak menyukai sifat mulia ini. Jika bisa memiliki semua kenapa harus membaginya dengan orang lain. Manusia diberikan sifat tersebut secara fitrah. Patuh pada Tuhannya lah yang membuat ia menjadi makhluk sosial.

Kembali berbagi cerita tentang kehilangan dimana ada memiliki datang mengiringi. Menurut hemat saya, memang sudah sedari awal, kita tak memiliki apapun. Kita saja yang suka ngaku-ngaku. Kehidupan kita sendiri saja bukan milik kita. Ada Sang Pemilik Sejati yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa yang sejatinya memiliki. 

Tentang Janji Allah

Kita diajarkan kata atau label ‘kehilangan’ dan ‘memiliki’ untuk menyadarkan kita bahwa ada Tuhan Sang Penguasa Abadi kehidupan. IA juga telah menetapkan janji yang selalu IA tepati, bahwa IA akan menggantikan apa-apa yang kita miliki (sementara) yang telah diambil olehNYA dengan sesuatu yang baru, dengan sesuatu yang lebih baik.

Sebuah kisah tentang kehilangan yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. 

“Tidaklah seorang Muslim yang tertimpa musibah, lalu Ia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah,

Innalillahi wa Innailahi Raji’un

‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepadaNya.

Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku ini, dan gantikanlah untukku sesuatu yang lebih baik darinya, melainkan Allah akan memberi ganti yang lebih baik.

Dalam kisah tersebut, lalu, Ummu Salamah berkata, “Ketika Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata, ‘Siapakah orang Islam yang lebih baik dari Abu Salamah, (penghuni) rumah yang pertama kali hijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Lalu aku mengucapkan doa tersebut, maka Allah menggantikan untukku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sebagai suami).”

“Dan Allah tidak mengambil sesuatu dari hambaNYA kecuali untuk menggantikannya dengan yang lebih baik”

Tuhan saja sudah berjanji.. Masa’ kita gak percaya sama janji Tuhan kita sendiri.  Pada akhirnya, kehilangan dan memiliki hanyalah sebuah label yang kita tempelkan sendiri, kita namai sendiri,  dalam episode kehidupan kita. Kita yang memberi nama, kita yang memberi luka, kita yang memberi label bahagia, padahal Allah tak pernah sedikit pun berani menzholimi hamba-hambaNYA. Iya kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Index